Malam itu api unggun yang pertama bagiku dan api unggun kedua atau ketiga bagi yang lainnya. Kami semua berkeliling berhimpitan membentuk sebuah lingkaran manusia dengan warna warni baju kami mengelilingi nyala api kecil. Salah seorang dari kami bergantian melakukan berbagai macam cara untuk membuat api tetap menyala, ketika usahanya buntu salah seorang dari kami meneruskannya. Begitu terus bergantian sembari salah seorang dari kami berkelakar atau mengajak bernyanyi. Beberapa tampak semangat bernyanyi, sebagian hilang dalam lamunan masing-masing dengan bayangan kobaran api di bola mata mereka. Malam semakin larut dingin semakin menusuk, api mulai membesar, beberapa pergi mencari kayu dan kembali membawa hasil. Mengisi indahnya bintang di langit kami mulai memperkenalkan diri satu sama lain, semua saling menyebutkan nama dan latar belakang, perlahan kuhapalkan nama mereka, terutama namanya. Dia yang menarik perhatianku dari menit pertama kuinjakkan kaki di Rancaupas. Dengan sabar kunanti saat sebuah jari “mencolek” dirinya, kudekatkan jariku ke api, mencari kehangatan yang tidak kudapatkan dari mengapitnya di ketiakku. Kulempar senyum kepada mereka yang ada di kiri dan kananku, senyum dan anggukan kepala kudapat sebagai balasannya. Aku melihatnya tersenyum, menawan sekali. Nafasku sempat tertahan, tapi lagi-lagi dingin merusak segalanya, kali ini kudekatkan tangan dan kakiku ke api, rasa hangat mulai menjalar dan akupun lega.
Ia menyebut namanya, kulafalkan dalam hati. Mataku melirik ke arah lain entah karena takut dirinya akan merasakan pandanganku yang menusuk atau takut ketika bola mata kami beradu ia akan langsung membacanya. Perkenalanpun berakhir, kami mulai bercanda satu sama lain, melemparkan ejekan bersahabat yang disambut gelak tawa (penonton) yang lain. Aku ingat sebuah botol diestafetkan beberapa kali, dua tiga tenggak, lidahku melayang dan telingaku berdengung. Hal terakhir yang kuingat adalah alunan nada menyayat hati yang berasal dari petikan sebuah gitar dan suara seorang wanita. Kupejamkan mata dalam lindungan tendaku.
Pagi datang, hangatnya sleeping bag pada malam hari berubah menjadi neraka di saat matahari muncul. Beberapa orang tampak hilir mudik tanpa alas kaki berkeliaran di atas rumput hijau. Udara hangat mengusir semua keengganan malam hari, kuambil bukuku dan merebahkan diri diatas rumput, beberapa tampak sibuk memasak di dapur, dibawah sebuah pohon. Beberapa tampak berkemas-kemas bersiap meniggalkan perkemahan menuju kehidupan mereka di dunia, sementara yang lain memainkan gitar dan jimbe. Hatiku tergerak untuk melakukan sesuatu, bangkit berdiri kuhampiri mereka, duduk dan bersenda gurau dengan mereka, mulai mengenal beberapa diantara mereka lebih dalam dan menghapal nama mereka satu persatu. Seseorang datang berkeringat, mengajak beberapa diantara kami mengikutinya berjalan-jalan di sekitar areal perkemahan. Hatiku tertarik dan kedua kakiku melangkah melewati hamparan rumput hijau, sekawanan rusa tampak berlarian mengitari pagar di sekeliling mereka di bawah langit biru. Pepohonan kami lewati, perasaan seperti berada di hutan sempat kurasakan, kami mulai akrab dan tertawa terbahak-bahak, kehangatan mulai terasa. Kembali ke perkemahan suasana aman dan nyaman sangat kental seperti dirumah. Bumbu masakan mulai dipotong, air mulai diisi, semua orang mulai sibuk. Tanganku terjulur dan kakiku bergerak begitu juga yang lainnya, sekelompok kecil pergi kehutan mencari kayu untuk api unggun. Makanan siap, kami menari dan bernyanyi dalam sebuah lingkaran bergandengan tangan menyatukan hati berbagi cinta.
Dinginnya malam tidak lagi terasa menusuk suasana mulai menghangat dengan obrolan cerdas, semua orang berbagi isi pikirannya, beberapa mulai merasa ketertarikan dan kesamaan masing-masing. Kami semua individu-individu unik menjalin sebuah ikatan warna-warni yang kuat dan saling mengikat.
Ketiadaan rutinitas menciptakan keharmonisan karena semuanya membagi apapun yang dimiliki, keterampilan membentuk, memainkan dan menciptakan sesuatu bermunculan, tulisan, ide, ilustrasi dan pengalaman tertuang menjadi sebuah ide. Pemikiran mulai terbentuk dari mulut dan telinga masing-masing, api unggun menjadi sarana pengungkapan dan penyatuan kesemuanya itu. Satu per satu melodi menyayat hati dimainkan, masih dari gitar yang sama dan suara wanita yang sama kali ini beberapa instrumen tambahan terdengar mengiringi. Terkadang melodi berganti ceria, mencerahkan suasana, beberapa tampak menari atau sekedar menggoyangkan tubuh. Kupejamkan mata menikmatinya.
Api unggun terakhir dinyalakan, entah mengapa apinya membumbung tinggi, hangatnya sangat terasa dan cahanya terang benderang, kami menyanyikan sebuah lagu yang menyayat hati, semua diam tertegun entahlah apa yang ada di benak masing-masing. Aku tertunduk, mataku berair tapi hatiku lega. Satu persatu kami semua membuka diri, akupun menelanjangi diriku dan membagi semuanya kepada mereka, kulihat senyum tulus mereka mengembang. Aku bahagia.Aku merasakan cinta. Aku berada dirumah.
Tenda sudah terbongkar, seluruh barang terkemas dalam tas masing-masing. Beberapa masih saling berpelukan, beberapa hanya tersenyum dengan asap tebal dari api unggun terakhir sebagai latar belakang. Akupun tersenyum, menundukkan kepala dan mengucap syukur. Aku menemukan jawaban, tapi yang terpenting aku menemukan cinta. Kupanggul tasku dan berjalan meninggalkan tempat itu setelah mengukir semua kenangan dalam hatiku. Aku masih melihatnya dan memeluknya, bola mata kami beradu dan ia mengerti, bahwa rasa cinta yang kuberikan kepadanya bukanlah cinta sepasang kekasih tetapi rasa cinta sesama manusia penghuni bumi. Ia tersenyum, begitu juga semua orang, kami semua saling mencintai.
Sekarang kaki kami melangkah ke arah masing-masing, beberapa ada yang melangkah bersama, akan tiba saatnya kaki-kaki kami berjumpa kembali dan debu-debu yang berada disana akan menceritakan sejauh apa kaki kami telah melangkah di atas bumi ini.
Sampai purnama berikutnya pelangi hidupku…
Aku cinta kalian semua karena telah menginspirasiku melakukan banyak hal, terimakasih banyak.
Cheers peace and love, Dimas.