Kamis, 22 Desember 2011

Juggernaut - Max Geraldi

from all bushes we gather
circle and dance
under the naked night
meteor-showered by father

fireflies from mother
brighten our eyes

we twinkle
in our eyes
our soul

around the fire
into a barricade of wire
we hold each brothers and sisters to the vein
chanting 'truth'
stomping the ground where we were born from

with flora and fauna behind us
and the moon rays as our spear
we will be brave
we will revolt

shielded with love
and the philosophy of Dhakkan ' Guini
drunk on Thoreau

we will cast earthquakes underneath your feet
we will revoke our pandawas

elephants and rhinos will charge
whales and orcas will ram

we will stampede the thunder of your war drums
with our love mantras

O' juggernaut of the world
with your dark breath
you blackened our sky
your venomous horn
tears our earth's curtain
no longer can we feed your endless appetite
our
Dharma
dream eater

O' comely giant
our admiration has come to an end
we won't put gold plates
or jade cutlery
on your altar no more
If for that our soil is no longer sweet
If for that our land won't give birth to tomatoes no more

we will destroy your black sun


pandawas : knights from the tale of Mahabharata
Dhakkan 'Guini : The last Ka’bi Kgai’ya warrior of the Aborigines

Minggu, 09 Oktober 2011

Untitled Story - Dimas Prabowo

Malam itu api unggun yang pertama bagiku dan api unggun kedua atau ketiga bagi yang lainnya. Kami semua berkeliling berhimpitan membentuk sebuah lingkaran manusia dengan warna warni baju kami mengelilingi nyala api kecil. Salah seorang dari kami bergantian melakukan berbagai macam cara untuk membuat api tetap menyala, ketika usahanya buntu salah seorang dari kami meneruskannya. Begitu terus bergantian sembari salah seorang dari kami berkelakar atau mengajak bernyanyi. Beberapa tampak semangat bernyanyi, sebagian hilang dalam lamunan masing-masing dengan bayangan kobaran api di bola mata mereka. Malam semakin larut dingin semakin menusuk, api mulai membesar, beberapa pergi mencari kayu dan kembali membawa hasil. Mengisi indahnya bintang di langit kami mulai memperkenalkan diri satu sama lain, semua saling menyebutkan nama dan latar belakang, perlahan kuhapalkan nama mereka, terutama namanya. Dia yang menarik perhatianku dari menit pertama kuinjakkan kaki di Rancaupas. Dengan sabar kunanti saat sebuah jari “mencolek” dirinya, kudekatkan jariku ke api, mencari kehangatan yang tidak kudapatkan dari mengapitnya di ketiakku. Kulempar senyum kepada mereka yang ada di kiri dan kananku, senyum dan anggukan kepala kudapat sebagai balasannya. Aku melihatnya tersenyum,  menawan sekali. Nafasku sempat tertahan, tapi lagi-lagi dingin merusak segalanya, kali ini kudekatkan tangan dan kakiku ke api, rasa hangat mulai menjalar dan akupun lega.
 
Ia menyebut namanya, kulafalkan dalam hati. Mataku melirik ke arah lain entah karena takut dirinya akan merasakan pandanganku yang menusuk atau takut ketika bola mata kami beradu ia akan langsung membacanya. Perkenalanpun berakhir, kami mulai bercanda satu sama lain, melemparkan ejekan bersahabat yang disambut gelak tawa (penonton) yang lain. Aku ingat sebuah botol diestafetkan beberapa kali, dua tiga tenggak, lidahku melayang dan telingaku berdengung. Hal terakhir yang kuingat adalah alunan nada menyayat hati yang berasal dari petikan sebuah gitar dan suara seorang wanita. Kupejamkan mata dalam lindungan tendaku.
 
Pagi datang, hangatnya sleeping bag pada malam hari berubah menjadi neraka di saat matahari muncul. Beberapa orang tampak hilir mudik tanpa alas kaki berkeliaran di atas rumput hijau. Udara hangat mengusir semua keengganan malam hari, kuambil bukuku dan merebahkan diri diatas rumput, beberapa tampak sibuk memasak di dapur, dibawah sebuah pohon. Beberapa tampak berkemas-kemas bersiap meniggalkan perkemahan menuju kehidupan mereka di dunia, sementara yang lain memainkan gitar dan jimbe. Hatiku tergerak untuk melakukan sesuatu, bangkit berdiri kuhampiri mereka, duduk dan bersenda gurau dengan mereka, mulai mengenal beberapa diantara mereka lebih dalam dan menghapal nama mereka satu persatu. Seseorang datang berkeringat, mengajak beberapa diantara kami mengikutinya berjalan-jalan di sekitar areal perkemahan. Hatiku tertarik dan kedua kakiku melangkah melewati hamparan rumput hijau, sekawanan rusa tampak berlarian mengitari pagar di sekeliling mereka di bawah langit biru. Pepohonan kami lewati, perasaan seperti berada di hutan sempat kurasakan, kami mulai akrab dan tertawa terbahak-bahak, kehangatan mulai terasa. Kembali ke perkemahan suasana aman dan nyaman sangat kental seperti dirumah. Bumbu masakan mulai dipotong, air mulai diisi, semua orang mulai sibuk. Tanganku terjulur dan kakiku bergerak begitu juga yang lainnya, sekelompok kecil pergi kehutan mencari kayu untuk api unggun. Makanan siap, kami menari dan bernyanyi dalam sebuah lingkaran bergandengan tangan menyatukan hati berbagi cinta.
Dinginnya malam tidak lagi terasa menusuk suasana mulai menghangat dengan obrolan cerdas, semua orang berbagi isi pikirannya, beberapa mulai merasa ketertarikan dan kesamaan masing-masing. Kami semua individu-individu unik menjalin sebuah ikatan warna-warni yang kuat dan saling mengikat.
 
Ketiadaan rutinitas menciptakan keharmonisan karena semuanya membagi apapun yang dimiliki, keterampilan membentuk, memainkan dan menciptakan sesuatu bermunculan, tulisan, ide, ilustrasi dan pengalaman tertuang menjadi sebuah ide. Pemikiran mulai terbentuk dari mulut dan telinga masing-masing, api unggun menjadi sarana pengungkapan dan penyatuan kesemuanya itu. Satu per satu melodi menyayat hati dimainkan, masih dari gitar yang sama dan suara wanita yang sama kali ini beberapa instrumen tambahan terdengar mengiringi. Terkadang melodi berganti ceria, mencerahkan suasana, beberapa tampak menari atau sekedar menggoyangkan tubuh. Kupejamkan mata menikmatinya.
Api unggun terakhir dinyalakan, entah mengapa apinya membumbung tinggi, hangatnya sangat terasa dan cahanya terang benderang, kami menyanyikan sebuah lagu yang menyayat hati, semua diam tertegun entahlah apa yang ada di benak masing-masing. Aku tertunduk, mataku berair tapi hatiku lega. Satu persatu kami semua membuka diri, akupun menelanjangi diriku dan membagi semuanya kepada mereka, kulihat senyum tulus mereka mengembang. Aku bahagia.Aku merasakan cinta. Aku berada dirumah.
 
Tenda sudah terbongkar, seluruh barang terkemas dalam tas masing-masing. Beberapa masih saling berpelukan, beberapa hanya tersenyum dengan asap tebal dari api unggun terakhir sebagai latar belakang.  Akupun tersenyum, menundukkan kepala dan mengucap syukur. Aku menemukan jawaban, tapi yang terpenting aku menemukan cinta. Kupanggul tasku dan berjalan meninggalkan tempat itu setelah mengukir semua kenangan dalam hatiku. Aku masih melihatnya dan memeluknya, bola mata kami beradu dan ia mengerti, bahwa rasa cinta yang kuberikan kepadanya bukanlah cinta sepasang kekasih tetapi rasa cinta sesama manusia penghuni bumi. Ia tersenyum, begitu juga semua orang, kami semua saling mencintai.
Sekarang kaki kami melangkah ke arah masing-masing, beberapa ada yang melangkah bersama, akan tiba saatnya kaki-kaki kami berjumpa kembali dan debu-debu yang berada disana akan menceritakan sejauh apa kaki kami telah melangkah di atas bumi ini. 
 
Sampai purnama berikutnya pelangi hidupku…
 
Aku cinta kalian semua karena telah menginspirasiku melakukan banyak hal, terimakasih banyak.
Cheers  peace and love, Dimas.

Rabu, 28 September 2011

_untitled (abondend)_ by Lars Ro

watching the lights
glide down a distant Indian highway
the eternal firefight
abondend

breeze through the trees
life's heart beats for you too,
stranger

(India, 2010/2011)

_untitled (lick yr lips)_ by Lars Ro

entranced by a butterfly
the swoop of a hawk
bristling eyelashes
razzled,
dazzled
run as fast
as yr little legs
will take you
strum that melody
like no one
has ever strummed it before
lick yr lips,
my love

(Pokhara, 5 January 2011)

_untitled (yr not yr brother's keeper)_ by Lars Ro

stencilled impresarios
yr not yr brother's keeper
chirp away,
my friend,
chirp away

there's a rumble
underfoot
and the breeze

we have no reason
to accost you
at ease,
at ease

(Kheerganga, 4 May 2011)

Kamis, 22 September 2011

Lost in Thoughts: An Acid Afternoon Trip to the Wild - Kendra Ahimsa

Midsummer afternoon, 1969.


I hadn't been born then.
Nor was this baffling standpoint I have now towards life.
Flooded with beercans like an endless river,
Chuckling in air, like sniffing a fucking reefer.
To see things as though they were really what we saw at that time.


Oh, what a mint view.
This feeling of cherry blossoming daisies and evergreen meadows outside my window.
I wish it hadn't been so fast, made it seem like I've just missed the train knowing I am 40 years too late.
I guess we just have to revel those moments forever in our senses.
At least until the fat lady stops singing and starts to get high and wasted.


Ah.. If I could just get out and go make love to the gazing sky,
And tell her not to cry, for she has to witness all.
This surreal nonsense that is happening beneath her beauty.

Ah.. If only tonight I could gently rape the worried moon and make her moan.
Blow the tits off her sanity, only just so I can whisper her lovewords to make her calm.
So she would still talk to me at night, as she begins to turn her shine around against me,
Against the ground I'm living on.


Oh dear Mother of all the land,
Let me hold your hand and raise your head up slow since now is the time.
Now is when children create memories of their first sunrise,
Now is when Mother first sees her child's eyes.
Now is when the old are young while the young are still dumb as we are closer to lose our opposable thumbs.
Now is when I wake up to the fresh smell of brewed coffee in blonde rays of beautiful lights that burst through the haze where they land upon my face like a kiss.


So I say here and now, a solemn vow.
The land's gone cold, down gone by the down down shops in and out of a bound.
Half-truth lies I have told, an honest sound, tiny clusters of little babies on a playground.
I suppose my mind's just riddling with chaos of whys and hows,
But I like it.

Sabtu, 17 September 2011

Nabi untuk pemotong arteri kiri - Max Geraldi


Nadi terburat pecah seperti selang yang penuh tekanan.  Sari sari mimpi muncrat tinggi
menghiasi langit langit dengan kemilau membutakan mata.
Kepala berputar, teratur. Bibir terkatup  bergetar ikuti vibrasi nadi .
Mati?                                    //                                            Hidup?

Realita direkonstruksi oleh Morpheus
dengan perisai bajanya.

Genderang bertaut
bak gajah Persia yang siap perang.

Bumi berderak keras!
Laut berbuih jingga!
Angkasa terbelah layaknya durian yang baru jatuh.

Gong emas di ufuk jauh pudar dan makin kabur dari visi mata kiri. Satu sosok mendekat,
langkahnya penuh pendaran debu.
Kain satin sobek melingkari bahunya, rambut gimbal sepanjang pinggang.

Mari dansa kembali..       
                                   Hari berakhir disini..

                                                   Logika hanya piring plastik untuk tatakan opinimu..

                                  Jangan berlari lagi..
Kamu sudah disini.

On noticing Trees - Tess Joyce


Arriving at dusk, I joined a circle of brothers and sisters I did not know
sharing thoughts as fresh as thawing ice.

Reclining against the flaccid drum of the world, I smelt their flower-scent clothes, 
heard and learnt to melt with words, 
 
saw a spectrum of grey, beyond grey rainbows, full with ash
as the campfire, free from madness, bore babies of truth.
Saw my love, for the first time look fragile as the ceremony closed
and we sang songs like a hunted bird, for the last time -

now, hear our echoes near pine-shaped landscapers
/ see glass buildings, shine like lakes.\
It's not easy to forget, the walls of the forest, rising to the sky like domes -
                                                                                                                such brilliant air and light.
We could design every house, using the trees as our guide.



Indonesia Rainbow Gathering - Bandung, 2011

Kamis, 08 September 2011

my art project

Hi brothers and sisters,

These are some of my projects, ill post others soon. Cheers!

Love,
Karel




Sabtu, 03 September 2011

Day #18 Labirin Pelangi - Ervin Ruhlelana

codex codex codex mencari codex mengendarai t-rex executive jurusan negeri mataram - negeri danau. banjir teks di kumparan roda.

memeriksa rahasia yang masih kamu simpan dalam peti hati bertepi kotak, atau peti kotak bertepi mati? atau peti mati berkotak hati?

delirium kuantum dalam kotak alumunium yg berlari cepat mengejar angin dingin dari timur,kamu masih membujur dalam hamparan syukur.

randomisasi hati,mengukur jalan dengan telapak tangan,menagih peran yang tak pernah dimainkan di panggung drama kita.

angkara sudah berdarma dengan sebuah kepalan kosong bertenaga kuda,lalu kamu mau apa,menonjok karya2 kita?

maka demikianlah kamu pulang dengan tangan berdarah hitam,tangan yang kamu sekolahkan 13 tahun lalu di bawah jembatan layang.

kita tak perlu lagi memboyak luka yang sudah kering dijahit jam dinding, kita tak perlu lagi luka, teman tersayang...

membebaskan piaraan para tuan bermuka menara, tanpa harus luka,adalah senyum terindah kita,adalah 2 ditambah 2 sama dengan 5.

dinding merah tua,dinding hitam pucat,dinding menara yang menyebunyikan matahari di balik selangkangan mereka.buldozer saja.

atau becanda saja dengan mama,dengan papa,katakan pada mereka bahwa kulkas ajaib kita berlipat ganda dimakan cermin jelmaan borges.

lalu kita tertawa bersama, betapa indah tawa kita jika dihentak bersamasama.goodnite?

lalu pelangi terbit di selatan. dalam rupa manusiamanusia indah berpakaian cinta dan kedamaian.

hamparan tanaman dan sayuran membawaku dan manusiamanusia itu memahami matahari dengan energi tak berbatas kata.

ini doa. seperti bejana. penuh karma. atau ahimsa. dalam lingkaran kebersamaan.

"we are circling, circling together. we are singing, singing our heart out. this is family. this is unity. this is celebration. this is sacred."

makan, saudarasaudaraku, adalah ritual persaudaraan kita. menyanyi bersama adalah kesakralan berbuah tawa.

maka selamat makan! selamat menyanyikan hidup dengan cinta dan perdamaian!

Indonesia Rainbow Gathering
Rancaupas, 2 - 10 Juli 2011

Rabu, 24 Agustus 2011

The Lutungs of Java - Tess Joyce


See this berry catching the spores of light
with the brevity of a razor strike,
this berry is a red God. 
Come closer, from your trance, pluck it,
destiny is marked by the nimblest of fingers.
It will be your guide, understand the belly-wiggles,
the lunge, here is hope, digesting.
Oh mother, sweet epitome of bush-to-bush leaping.
Oh father, grip or law of flee.
Now below, in the river
man floats in a kayak of traps and bait
so listen to the alarm calls, rise!
The monkeys scramble higher -
there, in a nest of arms, they wait for his coming.